Halaman

Kamis, 21 Mei 2009

Banyumas Kotaku Lama

BANYUMAS, KOTA BERSEJARAH YANG HAMPIR TERLUPAKAN
Oleh: Warsito
Apabila kita melintasi jalur lalu lintas Yogya-Purwokerto, maka kita akan melalui daerah Banyumas. Banyumas merupakan kota kecamatan di wilayah kabupaten Banyumas. Meskipun demikian, kota ini mempunyai sejarah yang cukup menarik. Dari situs peninggalan sejarah yang ada, kota Banyumas merupakan bekas pusat pemerintahan kabupaten (kekadipatenan). Hal itu dapat dibuktikan melalui adanya bekas-bekas bangunan tempo dulu dengan desain tata kota yang khas, mirip seperti pusat pemerintahan kasultanan Yogyakarta maupun kerajaan Islam lain di Jawa. Diperkirakan, bentuk tata kota Banyumas yang asli memang sudah ada sejak zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816).

Menurut Babad Banyumas dan cerita rakyat yang masih hidup, Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II adalah penguasa pertama Banyumas. Dia merupakan cikal bakal bupati-bupati Banyumas. Banyumas berdiri pada tahun 1582 Masehi, sebagaimana bunyi sebuah tulisan yang tertera pada cungkup makam Bupati Banyumas Pertama itu di desa Dawuhan, kecamatan Banyumas.
“Kyai Adipati Warga Utama II waktu kecil bernama Jaka Kaiman, menantu Kyai Adipati Warga Utama I (Pekiringan). Ia diangkat menjadi Adipati Wirasa VII. Olehnya, Wirasaba dibagi menjadi empat daerah, karena itu ia disebut Adipati Mrapat. Ia adalah bupati Banyumas yang pertama (1582)”.
Menurut Sudarmaji dalam Inajati A.R., dkk. (1998), menyebutkan bahwa jumlah bupati Banyumas seluruhnya ada dua puluh orang, yaitu lima belas orang memerintah di zaman sebelum datangnya kolonialis Belanda dan lima orang memerintah di zaman penjajahan Belanda. Namun menurut sebuah catatan yang ada di Bagian Humas Setda Banyumas memaparkan bahwa jumlah bupati Banyumas yang memerintah dari awal sampai dengan Bupati H.M. Aris Setiono, S.H., S.I.P. (sekarang) berjumlah dua puluh sembilan orang. Disebutkan pula di sana bahwa Adipati Warga Utama II merupakan bupati Banyumas yang pertama.
Keberadaan kabupaten Banyumas sudah ada sejak pemerintahan Kasultanan Pajang. Adipati Mrapat menjadi bupati Banyumas adalah atas anugerah Sultan Pajang. Pada saat pemerintahan kerajaan Pajang bergeser ke Mataram, secara otomatis kabupaten Banyumas pun ikut menjadi wilayah kerajaan Mataram Islam saat itu. Ketika kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya di masa Sultan Agung Hanyokrokusumo, Banyumas menjadi Mancanegara Kilen yang diperkirakan merupakan tempat kedudukan Wedana Bupati Mancanegara Kilen.
Pada saat terjadi Perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua wilayah yaitu kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pihak kasultanan Yogyakarta sendiri sebetulnya juga amat menginginkan daerah tersebut karena tanahnya yang subur. Di samping itu, secara kekeluargaan Tumenggung Yudonegoro II yang menjabat bupati Banyumas sebelum terjadi Palihan Nagari (pembagian wilayah kerajaan) juga merupakan ipar dari Sri Sultan Hamengkubuwono I. untuk mengobati rasa kecewa itulah akhirnya Sri Sultan berinisiatif mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Belanda, Hartingh, agar Tumenggung Yudonegoro II diangkat sebagai Patih Kasultanan Yogyakarta. Permohonan tersebut dikabulkan sehingga dilantiklah Tumenggung Yudonegoro II dengan nama Patih Danurejo.
Kemudian pada saat pemerintahan Raffles (1811-1816), bupati Banyumas dipegang oleh Tumenggung Yudonegoro IV. Pada saat Gubernur Jenderal Raffles datang ke Banyumas, Tumenggung Yudonegoro IV memohon kepada pemimpin Kompeni itu agar Banyumas dilepaskan dari kekuasaan keraton Surakarta, sehingga ia dapat ditetapkan menjadi penguasa Banyumas. Raffles pun mengadakan perundingan dengan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah bahkan raja Surakarta itu marah besar. Sebagai sanksinya, akhirnya Tumenggung Yudonegoro IV dicopot dari kedudukannya sebagai bupati Banyumas dan diturunkan menjadi Mantri Anom. Selanjutnya, ia harus tetap tinggal di Surakarta dan tidak boleh kembali ke Banyumas.
Ketika terjadi perjanjian antara penjajah Belanda dengan pihak kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta (1830), Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kilen menjadi wilayah kekuasaan Kompeni Belanda. Melalui perkembangan tersebut, akhirnya Belanda membentuk pemerintahan karesidenan di Banyumas. Tuan De Stutler merupakan pejabat residen pertama Banyumas yang bertugas mendampingi bupati Banyumas saat itu. Pada tahun 1831, dibentuk pula empat asisten residen yang masing-masing membawahi kabupaten Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.
Akan tetapi selanjutnya, mulai tanggal 1 Januari 1936 kabupaten Purwokerto dimasukkan ke dalam wilayah kota Banyumas. Bersamaan dengan itu, karesidenan dan pemerintahan kabupaten Banyumas dipindahkan ke Purwokerto. Pemindahan ibukota dilaksanakan pada tanggal 26 Pebruari 1937. Pendopo yang ada di Banyumas sekarang hanyalah duplikatnya. Menurut keyakinan masyarakat setempat, pemboyongan tiang Pendopo Sipanji ke Purwokerto tidak boleh menyeberangi sungai Serayu. Oleh karena itu, pengangkutan tersebut harus dibawa memutar melalui jalan sebelah timur hulu sungai tersebut, yakni jalan propinsi Jawa Tengah di bagian timur.
Dengan dipindahkannya ibukota kabupaten Banyumas ke Purwokerto mengakibatkan kota Banyumas menjadi sepi dan hampir terlupakan. Meskipun demikian, bekas-bekas kemegahan kota di masa lampau masih tampak, seperti bekas rumah tinggal bupati (sekarang digunakan sebagai kantor kecamatan Banyumas dan sebagai rumah-rumah dinas pegawai setempat); beberapa gedung sekolah, yaitu Kartini School (sekarang menjadi SD Negeri II Sudagaran); Vervolg Shool, dan Tweede Irlandshe School (sekarang digunakan sebagai sebagai SMP Negeri I Banyumas); di sebelah timur alun-alun Banyumas terdapat rumah tahanan (lembaga pemasyarakatan) dan di sebelah selatannya, menyeberang jalan raya, terdapat Europeeshe School – (sekarang telah beralih sebagai SD Center di Banyumas, yaitu SD Negeri I Sudagaran dan kantor cabang dinas pendidikan kecamatan Banyumas). Di sebelah timur kelompok bangunan tersebut terdapat bekas Gedung Kepatihan (rumah Patih Sepuh) yang pada zaman Orba pernah digunakan sebagai kantor pembantu bupati/kawedanan Banyumas. Di sebelah timur laut alun-alun terdapat toponim Pecinan dan pasar.
Keberadaan Masjid Besar Nur Sulaiman Banyumas yang merupakan the living monument dan bangunan cagar budaya terdapat di sebelah barat alun-alun. Kemudian sejauh jarak satu kilo meter ke arah selatan dari alun-alun Banyumas terdapat bekas kompleks karesidenan Banyumas (milik Belanda), kini digunakan sebagai gedung SMEA Negeri I Banyumas dan kompleks pondok pesantren pendidikan Islam (PPPI) Miftahussalam Banyumas.
Meskipun kota Banyumas bukan lagi sebagai pusat pemerintahan daerah tetapi di Banyumas dan Purwokerto terdapat fasilitas lembaga publik ganda yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain setingkat kabupaten/kota, misalnya: rumah sakit umum daerah (milik pemkab dan pemprov), RRI-RSPD, lembaga pemasyarakatan, lembaga peradilan (pengadilan negeri, pengadilan agama, dan kejaksaan negeri), dan fasilitas lain seperti beberapa sekolah negeri (SLTA dan SLTP), kantor telkom, dan kantor PLN. Hal itu memang dapat dimaklumi mengingat juga di masa lalu Banyumas merupakan bekas pusat karesidenan. Bahkan seiring perubahan zaman, kini telah tumbuh usaha-usaha riil swasta di Banyumas yang berdampak pada analisis dampak lingkungan, seperti pembangunan real estate, rumah makan, rumah sakit, bengkel, gergajian kayu, dan rumah penduduk yang menyita lahan pertanian terutama sawah.
Dari tata ruang kota yang ada, kota “lama” Banyumas dengan alun-alun sebagai pusatnya sebenarnya adalah refleksi dari bentuk tata kota lama yang berkiblat pada tata kota pusat kerajaan-kerajaan Islam di Jawa antara abad XIX sampai menjelang awal abad XX. Oleh karena itu, Banyumas merupakan salah satu daerah aset wisata sejarah yang berpotensi untuk digali dan dikembangkan sehingga dapat mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat kabupaten Banyumas. *Pemerhati masalah sosial dan tinggal di Banyumas.

Tidak ada komentar: